” Tinggal Anak Di Pondok Kerana Lembam Selama 15 Tahun” ibunya pulang terus meraung setelah baca surat yg ditinggalkan

 

20 tahun yang lalu saya melahirkan seorang bayi laki laki, wajahnya comel tetapi nampak semacam lembam. Suamiku Abu memberinya nama Amin. Semakin lama semakin nampak jelas bahawa anak ini sedikit terkebelakang dalam erti lain lembam.

Saya berniat mahu memberikannya kepada orang lain sahaja supaya dijadikan anak angkat sebab terasa sangat malu. Namun Abu mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga.

Pada tahun kedua kelahiran Amin, saya melahirkan pula seorang anak perempuan yang sanat cantik dan comel. Saya namakannya Aminah. Saya sangat menyayangi Aminah, begitu juga Abu. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman untuk berhibur dan membeli pakaian budak yang cantik cantik.

Namun tidak sama halnya dengan Amin. Ia hanya memiliki beberapa helai pakaian lama. Abu berniat membelikannya, namun saya selalu melarang dengan alasan sudah tiada wang. Abu hanya terpaksa menuruti kata saya.

Saat usia Aminah 2 tahun, suamiku Abu telah mennggal dunia. Amin pada ketika itu sudah berumur 4. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin bertambah. Saya mengambil satu tindakan yang akhirnya membuatkan saya akhirnya menyesal seumur hidup.

Saya pergi ke kampung kelahiran saya bersama Amin dan Aminah. Saya tinggalkan Amin yang sedang tertidur lelap begitu saja. Tanpa menoleh kebelakang, saya berlalu pergi.

Setahun.., 2 tahun.., 5 tahun.., 10 tahun.. berlalu sejak kejadian itu. Saya bernikah selepas bertemu jodoh dengan Karim, seorang lelaki bujang. Usia pernikahan kami menginjak ke tahun kelima.

Berkat Karim, sifat sifat buruk saya seperti pemarah, eg0is dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Aminah sudah berumur 17 tahun dan kami menyekolahkan dia di sekolah berasrama penuh. Saya waktu itu tidak lagi ingat pada Amin dan tiada memori yang mengaitkan saya kepadanya.

Hinggalah ke satu malam, malam di mana saya bermimpi mengenai seorang anak. Wajahnya segak namun kelihatan sangat pucat sekali. Dia melihat ke arah saya. Sambil tersenyum dia berkata;

“Makcik, makcik kenal ibu saya? Saya rindu sekali pada ibu!”

Sesudah berkata demikian dia mulai pergi, namun saya menahannya.

“Tunggu…, saya rasa saya kenal kamu. Siapa namamu wahai anak yang manis?”

“Nama saya Amin, makcik.”

“Amin…? Amin… Ya Tuhan! Benarkah engkau ni Amin???”

Saya terus tersentak dan terbangun dari tidur. Rasa bersalah, sesal dan pelbagai perasaan aneh yang lain menerpa diri saya pada masa itu juga. Tiba tiba teringat kembali kisah yang terjadi dulu seperti sebuah filem yang ditayangkan kembali di kepala saya.

Baru sekarang saya menyedari betapa jahatnya perbuatan saya dulu. Rasanya seperti mahu mti saja saat itu.

Ya, saya patut mti…, mti…, mti…!

Ketika tinggal seinci jarak pisau yang ingin saya kelarkan dekat pergelangan tangan, tiba tiba bayangan Amin melintas kembali di fikiran saya.

“Ya Amin, ibu akan menjemputmu Amin, tunggu ya sayang !”

Petang itu saya membawa Karim sekali pulang ke kampung dan memarkir kereta Civic biru saya di samping sebuah pondok, dan ia membuatkan Karim berasa hairan. Beliau menatap wajah saya dan bertanya;

“Habsah, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kita berada di sini?”

“Oh abang, abang pasti akan membenci saya selepas saya menceritakan hal yang saya lakukan dulu.”

Aku terus menceritakan segalanya sambil teresak esak. Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian.

Selepas tangisan saya reda, saya keluar dari kereta dengan diikuti oleh Karim dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter di hadapan saya. Saya mula teringat yang saya pernah tinggal dalam pondok itu dan saya tinggalkannya.

“Amin.. Amin… Di manakah engkau, nak?”

Saya meninggalkan Amin di sana 10 tahun yang lalu. Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri pondok tersebut dan membuka pintu yang diperbuat daripada buluh itu.

Gelap sekali. Tidak terlihat sesuatu apa pun di dalamnya! Perlahan-lahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan di dalam ruangan kecil itu. Namun saya tidak menemui sesiapapun di dalamnya. Hanya ada sehelai kain buruk yang berlonggok di atas lantai tanah.

Saya mengambil baju itu mengamatinya dengan betul-betul. Mata mulai berkaca, saya kenal saiz baju itu. Ini adalah baju buruk yang dulu dipakai oleh Amin setiap hari.

Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sangat sedih dan bersalah, saya pun keluar dari ruangan itu. Air mata saya mengalir dengan kuat. Saat itu saya hanya mampu berdiam diri saja.

Sesaat kemudian saya dan Karim mulai menaiki kereta untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, saya melihat seseorang berdiri di belakang kereta kami. Saya terkejut sebab suasana saat itu gelap sekali.

Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang sangat kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Saya terkejut lagi apabila dengan tiba-tiba dia menegur saya. Suaranya garau.

“Heii…! Siapa kamu?! Apa yang kamu mahu?!”

Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya;

“Makcik, apakah makcik kenal dengan seorang budak bernama Amin yang dulunya tinggal di sini?”

Dia menjawab;

“Kalau kamu ibunya, kamu adalah perempuan terkutuk!! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Amin terus menunggu ibunya dan memanggil;

‘Ibu, ibu!’

“Kerana tidak tahan melihat keadaannya, kadang-kadang saya memberinya makan dan mengajaknya tinggal bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemungut sampah, namun saya sama sekali tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu!”

Surat peninggalan Amin

“Tiga bulan yang lalu Amin meninggalkan sehelai kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun tahun hanya untuk menulis ini untukmu…”

Saya pun membaca tulisan di kertas itu…

“Ibu, mengapa ibu tidak pernah kembali lagi…? Ibu marah pada Amin, ya? Ibu, biarlah Amin yang pergi saja, tapi ibu harus berjanji ibu tidak akan marah lagi pada Amin.”

Saya menjerit h1steria membaca surat itu.

“Tolong bagi tahu.. di mana dia sekarang? Saya berjanji akan menyayanginya sekarang! Saya tidak akan meninggalkannya lagi! Tolonglah cakap…!!!”

Karim memeluk tubuh saya yang terketar-ketar dan lemah…

“Semua sudah terlambat. Sehari sebelum kamu datang, Amin sudah mennggal dunia. Dia meninggal di belakang pondok ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang pondok ini tanpa berani masuk ke dalamnya.”

“Dia takut apabila ibunya datang, ibunya akan pergi lagi apabila melihatnya ada di dalam sana. Dia hanya berharap dapat melihat ibunya dari belakang pondok ini.”

“Meskipun hujan deras, dengan keadaannya yang lemah ia terus berkeras menunggu kamu di sana . Dosa kamu tidak akan terampun!”

“Ya Allah! Ampunkanlah dosaku! Amin, ampunkan ibu nak!”

Kisah diatas pernah tular beberapa tahun lepas. Tidak dapat kami pastikan kesahihannya ataupun hanyalah rekaan penulis semata mata.

Namun, terdapat pengajaran berharga yang dapat kita pelajari. Usahlah sesekali membezakan anak anak. Lumrah manusia, bila di depan mata tidak dihargai, namun bila sudah tiada disesali pula.

Moga kita dijauhkan dari sifat sebegitu. Kongsikan, moga dijadikan tauladan buat kita semua.

Dah Baca, Jangan Lupa Komen Dan Share Ya.Terima Kasih

Sumber– edisimedia